ADANU – Pameran foto bertema “Karbon, Hutan dan Harapan” hasil kolaborasi antara Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi resmi dibuka pada Jumat (4/7/25) sore di Taman Budaya Jambi, Sei Kambang, Telanaipura, Kota Jambi.
Pameran ini menampilkan sebanyak 56 karya foto hasil jepretan para fotografer dari PFI Jambi maupun dokumentasi lapangan tim Warsi.
Seluruh karya menyoroti hubungan harmonis antara manusia dan hutan, baik dari sisi keanekaragaman hayati, nilai tradisi, maupun pengelolaan ekonomi berbasis hasil hutan bukan kayu.
Melalui lensa para fotografer, pengunjung diajak menyelami kehidupan masyarakat adat yang terus menjaga dan memanfaatkan hutan adat mereka secara berkelanjutan. Tercatat, ada tujuh hutan adat yang terdokumentasikan dalam pameran ini, yakni:
- Hutan Adat Serampas (Kab. Merangin)
- Hutan Adat Talun Sakti dan Bukit Tamulun (Kab. Sarolangun)
- Hutan Adat Bukit Sembahyang Padun Gelanggang dan Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua (Kab. Kerinci)
- Hutan Mangrove di Tanjung Jabung Barat
- Hutan Harapan di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan
Ketua PFI Jambi, Irma Tambunan, dalam sambutannya menekankan pentingnya dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat dalam menjaga hutan.
“Foto-foto ini adalah bentuk penghormatan dan dukungan kepada masyarakat desa yang bekerja dalam senyap menjaga hutan. Lewat karya ini, kita suarakan perjuangan mereka,” ujar Irma.
Irma juga menyatakan bahwa pameran ini merupakan wujud kepedulian terhadap isu pemanasan global, sekaligus ajakan agar semua pihak turut menjaga kelestarian hutan.
Senada dengan itu, Direktur KKI Warsi, Adi Junaidi, mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bentuk refleksi atas peran hutan sebagai penyangga utama kehidupan manusia.
“Foto-foto yang dipamerkan bukan hanya menampilkan keindahan alam, tetapi juga menyampaikan kisah nyata kehidupan yang tak bisa lepas dari keberadaan hutan,” jelas Adi.
Adi menyampaikan bahwa pameran ini merupakan bagian dari rangkaian acara diseminasi buku dan film dokumenter “Karbon, Hutan dan Harapan” yang akan digelar pada Sabtu (5/7/25).
Ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga hutan, terutama dalam menghadapi krisis iklim global.
“Jangan tunggu sampai pohon terakhir ditebang, sungai terakhir tercemar, dan ikan terakhir punah baru kita sadar. Meski tinggal di kota, kita tetap terhubung dengan hutan di desa,” katanya.
Adi juga memaparkan perkembangan pengelolaan hutan berbasis komunitas. Sejak tahun 2018, Dusun Lebak Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, ditetapkan sebagai Hutan Desa pertama yang mendapat izin pengelolaan.
Langkah tersebut kemudian diikuti oleh empat desa lain Senamat Ulu, Laman Panjang, Buat, dan Sungai Telang yang membentuk satu lanskap pengelolaan bernama Bukit Panjang Rantau Bayur.
Kawasan ini bahkan berhasil memperoleh pendanaan melalui skema carbon community, yang sebagian besar dimanfaatkan untuk program beasiswa pendidikan bagi anak-anak desa.
Discussion about this post