ADANU – Pagi ini saya ditelepon oleh salah seorang jurnalis senior di Provinsi Jambi, terkait hal yang sedang hangat diperbincangkan dibidang olahraga, yaitu suksesi pemilihan ketua KONI Provinsi Jambi yang sebentar lagi akan dilakukan pemilihan.
Beliau menanyakan terkait wacana untuk mengusung gubernur Jambi sebagai ketua KONI Provinsi Jambi. Apakah saya setuju atau tidak? Tulisan ini saya buat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Tidak ada pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan yang secara eksplisit melarang siapa pun, termasuk gubernur, anggota DPR, atau pejabat pemerintahan lainnya.
Untuk menjabat sebagai ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Dengan demikian, siapa pun yang memenuhi kriteria dan berkomitmen untuk memajukan olahraga prestasi di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin di organisasi ini.
KONI adalah organisasi mandiri yang harus dikelola secara profesional oleh pengurus yang berpengalaman dalam keolahragaan. Namun, menarik untuk mempertanyakan bagaimana jika gubernur juga bertanggung jawab sebagai ketua KONI?
Apakah rencana ini menunjukkan bahwa tidak ada orang lain yang layak untuk mengelola KONI? Apakah gubernur memiliki waktu dan perhatian yang cukup untuk mengurus organisasi ini mengingat banyaknya tanggung jawab yang harus dia selesaikan?
KONI harus tetap independen karena fungsinya adalah membantu pemerintah dalam membina olahraga prestasi. Bagaimana jika seorang kepala pemerintahan juga bertanggung jawab sebagai ketua KONI? Bagaimana hal itu akan berdampak pada nilai profesionalisme dan kemandirian yang menjadi dasar pengelolaan organisasi ini?
Banyak orang berdebat terkait wacana pengangkatan gubernur sebagai ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Jambi. Hal ini, tergantung pada perspektif seseorang, ada berbagai perspektif yang mendukung dan menentang gagasan ini.
Meskipun ada kemungkinan bahwa peran gubernur akan bermanfaat bagi pembinaan prestasi olahraga Jambi, ada juga risiko yang tidak dapat diabaikan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik, tulisan ini akan membahas aspek positif dan negatifnya secara objektif.
Dengan menjadi kepala daerah, gubernur memiliki akses langsung ke kebijakan dan anggaran pemerintah, yang memungkinkan mereka untuk membantu KONI dan pemerintah daerah bekerja sama lebih baik.
Dengan menjadi ketua KONI, koordinasi ini dapat lebih efektif, yang memungkinkan program pembinaan dan pengembangan olahraga lebih terarah. Kebijakan anggaran yang lebih strategis juga dapat memberi prioritas dukungan keuangan, yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama untuk kemajuan olahraga.
Gubernur memiliki kemampuan untuk meningkatkan kredibilitas KONI di mata publik dan mitra kerja sama. Peluang kerja sama yang lebih besar dengan pemerintah pusat dan sektor swasta dapat muncul setelah gubernur menerima legitimasi. Ini sangat penting untuk mendukung acara olahraga besar seperti Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) dan Pekan Olahraga Nasional (PON), yang keduanya membutuhkan bantuan logistik dan keuangan yang signifikan.
Namun, risiko konflik kepentingan merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi jika gubernur menjabat sebagai ketua KONI. Infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah bidang utama tanggung jawab gubernur sebagai kepala daerah.
Mungkin tidak efektif bagi gubernur untuk menjalankan tugas utamanya jika fokusnya terbagi antara tanggung jawab pemerintahan dan kepemimpinan KONI.
Selain itu, KONI merasa tergantung pada pemerintah daerah. KONI harus mengelola olahraga secara mandiri karena itu adalah organisasi independen. Jika gubernur memegang kendali, organisasi ini mungkin menjadi terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah dan mengurangi kemampuan inovasi dan kemandirian KONI dalam jangka panjang.
Terakhir, wacana ini bisa dilihat sebagai peluang sekaligus tantangan bagi pengamat yang bersikap netral. Jika keterlibatan gubernur dikelola dengan baik, manfaatnya akan terasa, terutama dalam hal peningkatan sumber daya dan koordinasi program olahraga.
Namun, jika gubernur menjabat sebagai ketua KONI, ada risiko politisasi olahraga, di mana prestasi olahraga digunakan untuk mendapatkan pencitraan politik, mengalihkan perhatian dari peningkatan prestasi olahraga.
Selain itu, ada konflik kepentingan karena peran gubernur sebagai pemimpin organisasi olahraga dan pengambil kebijakan pemerintah, yang kemungkinan dapat mengganggu transparansi dan independensi anggaran. Ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan pemerintah membuat kemandirian KONI terancam.
Kritik publik terhadap monopoli jabatan akan meningkat, serta fokus pada prestasi jangka panjang dan pembinaan atlet bisa terabaikan. Untuk menjaga profesionalisme KONI, peran politik dan olahraga sebaiknya dipisahkan.
Penulis : Endarman Saputra
Dosen Universitas Jambi
Doktor dalam bidang manajemen olahraga, Université de Lyon, Prancis
Discussion about this post