Oleh: Rudy Saputra
Entah ini pergerakan mahasiswa atau opera sabun. Di panggung yang bernama
Pencalonan Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) penonton disuguhi drama klasik: “Senior Tak Mau Pensiun.” Para kader muda yang baru belajar bicara idealisme terpaksa harus menyaksikan para mantan aktivis yang dulu katanya berjuang demi perubahan kini malah sibuk mengatur skenario di belakang layar.
Katanya ingin melahirkan pemimpin masa depan, tapi kenyataannya lebih suka memelihara bayangan sendiri di setiap forum. PKC, yang seharusnya menjadi pusat gagasan, kini lebih mirip arena adu gengsi.
Fenomena “senior tak mau kalah perang” menjadi ironi yang kian terasa. Bukannya menjadi pembimbing dan penuntun, sebagian senior justru terjebak dalam politik internal yang kaku, bahkan kadang memanfaatkan kaderisasi untuk mengamankan pengaruh pribadi.
Inilah titik kritis yang menjadikan PKC PMII Jambi berada di antara dua pilihan: maju dengan semangat baru yang dipimpin oleh kader-kader segar, atau stagnan karena bayang-bayang masa lalu yang tak kunjung usai.
Sebagai organisasi kader, PMII mestinya menjadi ruang dialektika, bukan arena dominasi. Ketika senior lebih sibuk mempertahankan “kursi pengaruh” dibanding menyemai nilai-nilai kaderisasi, maka makna rahmatan lil alamin dalam bingkai Islam Ahlussunnah wal Jamaah hanya akan menjadi jargon kosong.
Pengalaman senior memang penting, tetapi pengalaman yang baik adalah yang diwariskan, bukan dipaksakan.
Bukan antar kader, tapi antar mantan kader yang belum move on. Mereka muncul di setiap momentum penting, tak sekadar memberi petuah, tapi sibuk menentukan siapa boleh naik, siapa harus tumbang. Kader muda? Jangan mimpi kalau tak punya “restu langit” dari senior yang menganggap dirinya dewa sejarah.
Ini bukan lagi kaderisasi, tapi kadang terasa seperti feudalisme berjubah organisasi.
Ke mana idealisme itu pergi? Mungkin sedang ditahan sebagai mahar politik internal. Bukankah dulu kita diajari tentang nilai-nilai kritis dan mandiri? Tapi kini, keberanian berbeda pendapat dianggap pembangkangan.
Gagasan segar justru dibabat sebelum sempat tumbuh, karena takut menggeser kursi panas para jenderal veteran pergerakan.
Lucunya, para senior ini sering berdalih soal tanggung jawab moral. Tapi moral macam apa yang membuat mereka terobsesi mempertahankan pengaruh di struktur yang semestinya sudah mereka tinggalkan? Bukankah peran terbaik seorang senior adalah membimbing dari luar, bukan terus-terusan nyelonong ke dalam?
PKC PMII Jambi kini di persimpangan: apakah mau terus disetir oleh nostalgia para senior yang gagal pensiun politik, atau berani membuka jalan baru, meski tanpa aba-aba dari menara gading masa lalu? Kader muda punya pilihan: jadi pelengkap penderita, atau penulis naskah baru.
Sebab sejarah tak ditulis oleh mereka yang duduk nyaman di belakang layar, tapi oleh mereka yang berani mengambil risiko untuk menyusun babak baru. Dan untuk para senior yang masih sibuk “berperang” di usia matang: barangkali saatnya memikirkan hobi baru. Dunia luar masih luas, dan PKC bukan panggung seumur hidup.
Sudah saatnya PMII, terutama di level PKC, menegaskan sikap: bahwa estafet perjuangan harus diberikan kepada kader-kader yang tumbuh dari rahim pergerakan, bukan sekadar boneka atas kompromi kompromi elit yang tidak lagi kontekstual dengan zaman.
Persimpangan ini adalah momen reflektif. Apakah PMII ingin tumbuh menjadi gerakan independen yang melahirkan pemimpin visioner, atau tetap terjebak dalam siklus konflik internal yang tak pernah usai? Semua tergantung pada keberanian kader muda untuk berdiri tegak membawa perubahan, dan kebesaran hati para senior untuk legowo menyerahkan tongkat estafet, bukan terus bertarung dalam perang yang tak lagi relevan.
PKC PMII belakangan ini seperti pasar malam: ramai, gaduh, penuh tenda-tenda harapan, tapi lupa jalan pulang. Di tengah semangat kader muda yang ingin melaju, justru para senior muncul bak pemain lama yang menolak digantikan.
Tak cukup satu panggung, kini bahkan muncul dua, tiga panggung sekaligus masing masing paslon bikin deklarasi, bikin spanduk, dan… klaim menang!
Kalah tak mengapa, asal bisa bikin status dan bawa backing.
Alih-alih konsolidasi, kita justru disuguhi kompetisi siapa paling fasih mengutip AD/ART sembari menyimpan kartu truf dari “dewa senior.” Ya, karena dalam pergerakan ini, suara kader bisa saja kalah oleh suara bisikan senior. Dan ketika pesta demokrasi berubah jadi drama perebutan “tahta organisasi,” maka bukan lagi visi misi yang dibicarakan, tapi versi-notulen mana yang paling bisa diviralkan.
Lucunya, belum penghitungan tuntas, masing-masing paslon sudah menggelar “syukuran kemenangan.” Yang satu posting menang karena versi panitia A, yang lain bikin video testimoni versi panitia bayangan.
Semua merasa sah, semua merasa legal, dan semua menuduh yang lain inkonstitusional. Ini bukan musyawarah, tapi musuh-warah.
Katanya satu tubuh PMII, tapi urat leher tegang hanya gara-gara siapa yang boleh selfie di banner pelantikan.
Sementara itu, kader akar rumput hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka yang berharap lahir pemimpin baru justru disuguhi pertarungan para senior yang enggan pensiun.
Bukannya memberi ruang tumbuh, mereka malah sibuk menentukan siapa boleh tumbuh dan siapa harus gugur. Lupa bahwa organisasi ini bukan tempat pensiun pengaruh, tapi ladang kaderisasi gagasan.
Jika begini terus, PKC bukan lagi pusat gerakan, tapi pusat pertikaian. PMII bukan partai politik, tapi kok cara mainnya mirip minus anggaran, plus gengsi. Dan para senior? Mungkin sudah saatnya cari panggung lain. Menjadi legenda tak harus selalu tampil. Kadang, justru yang tahu kapan mundur, yang paling pantas dikenang.
Di persimpangan ini, kader muda harus memilih: terus jadi penonton dari bangku belakang, atau berani menyetir arah baru tanpa harus izin dari yang tak mau turun.
Penulis Merupakan Demisioner Ketua Rayon Ushuluddin UIN STS Jambi
Discussion about this post