ADANU – Di tengah hiruk-pikuk kota yang terus berdenyut tanpa jeda, di bawah panas matahari yang membakar aspal, seorang polisi berdiri diam, tegap, dan nyaris tak bergerak. Sorotan matanya tajam, tetapi menyimpan letih. Seragam yang dikenakannya memang mencerminkan wibawa dan kekuasaan.
Namun siapa sangka, di baliknya tersembunyi hati yang lelah, rindu yang tertahan, dan pengabdian yang tak kenal waktu.
Ketegasan di Jalan Raya, Kesepian di Hati
Bagi banyak orang, polisi adalah wajah hukum. Sosok yang menegakkan aturan, menangkap pelanggar, menjaga lalu lintas tetap teratur.
Tapi bagi para istri, suami, anak-anak mereka polisi adalah suara yang jarang terdengar di rumah, kursi kosong di meja makan, sosok yang hanya bisa dilihat lewat video call singkat sebelum tertidur.
“Kadang saya berdiri di perempatan selama berjam-jam, mengatur lalu lintas agar orang-orang bisa pulang cepat ke rumah mereka. Sementara saya sendiri belum tahu kapan bisa pulang,” ucap Bripka Roy Muhammad Iskandar, SH dengan lirih.
Seorang anggota polisi yang sudah belasan tahun mengabdi. Matanya menerawang, seperti menyimpan banyak kisah yang tak sempat diceritakan.
Cinta yang Tertunda, Kehangatan yang Ditukar Tugas
Roy, menjadi polisi sekaligus ayah bukan perkara mudah. “Anak saya pernah bilang, aku mau ulang tahun tanpa lilin aja. asal ayah bisa pulang. Waktu itu saya terdiam di mobil patroli,” tuturnya sambil tersenyum pahit. Ia tahu, banyak hal yang harus dikorbankan demi tugas. Tapi tak pernah mudah menukar senyum anak dengan laporan harian.
Polisi adalah pahlawan di luar rumah, tapi seringkali bayangan yang terlambat pulang di dalam rumah
Mereka merelakan cerita-cerita kecil langkah pertama sang buah hati, panggilan sayang di pagi hari, pelukan hangat saat anak takut petir. Semua itu tergantikan oleh suara radio komunikasi dan dering tugas yang tak mengenal belas kasihan.
Power Is For Service: Kekuasaan yang Membayar dengan Luka Sunyi
Filosofi “Power is for service” bukan hanya soal moral. Bagi banyak polisi, itu adalah napas hidup tapi juga sumber luka yang diam.
Mereka punya kekuasaan, tapi sering tak mampu mengubah nasib sendiri. Menolong orang lain, sementara dirinya sendiri tak sempat ditolong rasa lelahnya.
Roy yang telah menjadi tumpuan banyak warga dalam program sosial, mengungkapkan. “Saya sering bertanya dalam hati siapa yang akan menjaga kami ? ketika kami sibuk menjaga semua orang?”
Bayangan yang Ditinggalkan, Harapan yang Terus Dijaga
Hari raya, malam pergantian tahun, waktu bersama orang tua semuanya bisa terlewat begitu saja. Polisi harus memilih antara kehadiran dan kewajiban, dan terlalu sering yang menang adalah tugas.
“Anak saya bilang, ‘Ayah selalu jaga semua orang, tapi siapa yang jaga ayah?’” cerita Bripka Agus, suaranya berat. “Saya cuma bisa peluk dia,,kalau saya sempat pulang.”ujarnya.

Menjadi Penjaga, Meski Tak Selalu Dijaga
Kita melihat mereka berdiri di jalan, tapi jarang melihat mereka pulang dalam diam. Kita merasa aman karena mereka ada, tapi jarang bertanya siapa yang menguatkan mereka saat rapuh.
Di balik helm dan rompi antipeluru, ada hati yang kadang menangis dalam sunyi, Polisi bukan hanya penegak hukum. Mereka adalah manusia yang belajar menahan rindu, menekan tangis, dan mengorbankan kenyamanan pribadi demi ketenangan banyak orang.
Karena bagi mereka, menjadi polisi bukan sekadar pekerjaan ini adalah takdir. Dan dalam takdir itu, mereka belajar mencintai dengan cara yang sunyi.
Ditengah Lalu Lintas yang Tak Pernah Tidur
Di balik helm putih dan seragam cokelat yang gagah, ada seseorang yang setiap harinya berdiri di bawah terik matahari atau diguyur hujan, memantau arus lalu lintas, menjaga ketertiban jalan, dan terkadang menjadi sasaran umpatan pengguna jalan yang tidak sabar. Ia adalah Kasat Lantas sang penjaga jalanan, yang meskipun menjaga, tak selalu merasa dijaga.
“Setiap hari kami ada di jalan, bahkan sebelum matahari terbit,” ucap AKP Hadi Siwanto Kasat Lantas Polresta Jambi.
“Bukan hanya untuk menilang, tapi untuk memastikan bahwa anak sekolah sampai dengan selamat, pedagang bisa berjualan, dan keluarga bisa pulang tanpa luka.” paparnya.
Lalu lintas bukan sekadar urusan kendaraan. Ia adalah denyut nadi kota. Saat satu simpul macet, semuanya ikut tersendat. Tapi siapa yang memperhatikan mereka yang menjaga agar simpul itu tak mati?
Tak Hanya Peluit, Tapi Juga Perasaan
Tugas seorang Kasat Lantas tidak berhenti di kantor. Ia harus memimpin operasi, menertibkan arus mudik, mengurai kemacetan saat hari besar, hingga ikut turun tangan ketika terjadi kecelakaan lalu lintas.
Di tengah semuanya, ada perasaan yang kadang tak tertangkap publik, kelelahan yang dijaga sendiri, dan kadang rasa sepi saat masyarakat lebih mudah menghakimi ketimbang memahami.
“Kadang kami dianggap hanya mencari-cari kesalahan. Tapi ketika lampu lalu lintas padam, siapa yang tetap berdiri di simpang empat dengan tangan mengatur jalan? Ketika ada kecelakaan dini hari, siapa yang datang duluan untuk memastikan korban dibawa ke rumah sakit?” ujarnya.
Dijaga Bukan untuk Diperhatikan, Tapi Dimengerti
“Menjadi penjaga lalu lintas adalah pengabdian tanpa banyak ucapan terima kasih. Tapi kami tidak menunggu pujian. Cukup kalau pengendara mau tertib, pakai helm, dan tidak melawan arus,” katanya.
Tak jarang, Kasat Lantas harus menahan perasaan saat personelnya diserang di lapangan, atau ketika terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa dicegah andai semua orang mau menaati aturan.
“Itu yang paling menyakitkan. Ketika kita sudah berusaha menjaga, tapi yang dijaga justru acuh.” tambahnya.
Kata untuk Mereka yang Masih Peduli
Di akhir percakapan, Hadi menyampaikan satu pesan yang mencerminkan ketulusan para penjaga jalan ini:
“Kami bukan siapa-siapa tanpa masyarakat yang peduli keselamatan. Jadi tolong, jangan lihat kami hanya saat kami menghentikan kendaraanmu. Lihat kami juga saat kami menjaga jalan agar kamu bisa sampai rumah.” ujarnya lagi.
Menjadi penjaga memang berat. Tapi menjadi penjaga yang tak selalu dijaga itulah pengabdian.
Mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon pernah berkata terkait keselamatan di jalan raya kutipan itu berbunyi.
“Road safety is a development issue, a public health issue and a human rights issue.”
Yang artinya Keselamatan jalan adalah isu pembangunan, kesehatan masyarakat, dan juga hak asasi manusia.
Discussion about this post