ADANU.CO.ID – Keadilan restorative justice merupakan konsep pemikiran baru yang berkembang dalam penyelesaian perkara sebagai pola pemikiran hukum modern.
Banyak pihak memberikan respon positif atas gebrakan yang di lakukan Kejaksaan RI karena di nilai membawa harapan baru terhadap penyelesaian perkara pidana di tingkat penuntutan dengan konsep cepat. Tepat, sederhana, serta efektif sesuai dengan KUHAP.
Tak hanya itu. Apresiasi di terima oleh Kejaksaan RI mulai dari dalam hingga luar negeri seperti Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) pada September 2022 lalu. Karena di nilai konsep restorative justice mampu menyelesaikan perkara di luar pengadilan paling efektif dan efisien, serta berkeadilan.
JAM-Pidum Dr Fadil Zumhana Mengatakan. Konsep restorative justice ini juga mendapat apresiasi dari United Nations Office on Drugs and Crime (Unodc). Serta mendukung penyelesaian perkara korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep tersebut.
“Kita telah melakukan penelitian secara mendalam di beberapa kejaksaan negeri di Jawa Timur. Dimana hasilnya di jadikan sebagai role models dalam penyelesaian perkara korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep restorative justice.” Katanya Senin (27/2/23).
Penegakan hukum humanis menilai criminal justice system/sistem peradilan pidana terpadu belum mampu membangun penanganan yang efektif. Sebab cenderung berjalan sendiri sehingga menyebabkan penegakan hukum punitif yakni mengejar hukuman dan pembalasan.
“Hal inilah yang mengakibatkan biaya penanganan perkara menjadi besar dan berdampak pada tingkat hunian lembaga pemasyarakatan meningkat bahkan melebihi kapasitas (over capacity), dimana 60% penghuni merupakan penyalahguna narkotika. Melihat keadaan tersebut.” Ujarnya.
Dia menyampaikan Jaksa Agung merasa prihatin dan oleh karenanya harus ada solusi untuk kedepannya. Jaksa Agung menegaskan agar jangan sampai pengguna narkotika berada dalam satu sel tahanan dengan pengedar, sebab pengedar perlu mendapat perhatian serius.
“Atas dasar itulah, muncul gagasan yang di tuangkan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.” Paparnya.
Tidak Segan Berikan Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkotika
Usai di jalankan pedoman tersebut, menunjukkan tren positif dalam penerapan restorative justice di perkara narkotika.
Hampir ratusan korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan haknya untuk diobati secara mental dan fisik. Namun untuk pengedar, JAM-Pidum menyampaikan bahwa tidak ada ampun dan harus di tindak tegas karena telah merusak moral bangsa.
“Kami tidak segan-segan memberikan hukuman mati bagi mereka yang mencoba menjadi pengedar narkotika di negeri ini,” tegasnya.
Dia menegaskan untuk tidak ada satupun yang bermain-main dengan program humanis yakni restorative justice sebab ini merupakan “program memanusiakan manusia”.
Melihat pelaku sebagai korban penyalahgunaan narkotika yang perlu mendapat pengobatan serius dan guna mendukung implementasi dari Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021. Jaksa Agung mendorong pemerintah daerah dan penegak hukum untuk berkolaborasi dalam mendirikan rumah rehabilitasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini sebagai upaya yang sangat serius bagi penegakan hukum yang humanis.
“Jika ada Jaksa yang main-main, saya tegaskan akan saya pidanakan,” imbuhnya.
Filosofi restorative justice dalam perkara narkotika tidak saja di lihat dari ultimum remedium sebagai pintu terakhir dalam proses peradilan. Tetapi sebagai bentuk rehabilitasi yakni pemulihan kembali korban pelaku keadaan semula, dengan harapan korban yang telah menjalan rehabilitasi tidak hanya sembuh tetapi dapat kembali ke masyarakat, serta tak lagi menggunakan narkotika.
Discussion about this post