ADANU – Masyarakat Adat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam adalah salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Jambi yang secara tradisional bergantung pada kawasan hutan untuk kehidupannya.
Namun, mereka menghadapi marginalisasi akibat hilangnya hutan sebagai ruang hidup mereka akibat kebijakan konversi hutan.
Orang Rimba kini menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari akses pendidikan, kesehatan, hingga hak atas lahan dan sumber daya alam yang semakin terbatas.
Transisi Hidup dan Tantangan Baru
Perubahan pola hidup dari nomaden ke menetap juga memunculkan kendala baru, seperti kurangnya keterampilan untuk beradaptasi dengan sistem sosial ekonomi masyarakat umum, serta stigma sosial yang masih kuat.
Di Kabupaten Merangin, sejumlah desa telah memberikan perhatian khusus kepada masyarakat adat ini dengan menyediakan ruang integrasi sosial dan mendukung upaya pemberdayaan.
Dukungan tersebut meliputi pemenuhan layanan dasar, pelatihan keterampilan, hingga akses kesehatan. Namun, keterbatasan dana desa menjadi hambatan signifikan dalam menjalankan program pemberdayaan yang berkelanjutan.
Kolaborasi Multi Pihak untuk Mengatasi Tantangan Haryanto dari KKI WARSI menekankan pentingnya dukungan multi pihak untuk mengatasi kompleksitas tantangan ini.
“Kolaborasi lintas sektor diperlukan, mengingat persoalan yang dihadapi Orang Rimba tidak dapat diselesaikan hanya oleh upaya desa,” ujarnya.
Salah satu langkah strategis yang diusulkan adalah kebijakan afirmasi melalui alokasi dana khusus dari pemerintah kabupaten hingga pusat. Menanggapi isu ini, KKI WARSI bekerja sama dengan Dinas Sosial PPPA Kabupaten Merangin menyelenggarakan Lokakarya Dukungan Kebijakan Afirmasi untuk Kelompok Marginal Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
Lokakarya ini diadakan pada 11-12 Desember 2024 di Hotel Merangin Syari’ah dan dihadiri oleh kepala desa, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), serta pihak swasta yang mendukung pemberdayaan Orang Rimba.
Pentingnya Sistem Layanan yang Inklusif
Robert Aritonang, Program Manager KKI WARSI, menegaskan pentingnya integrasi Orang Rimba dalam sistem layanan umum.
“Tanpa kebijakan afirmasi, Orang Rimba rentan melakukan tindakan yang dianggap kriminal seperti mengambil hasil tanaman warga atau mengemis, karena mereka tidak memiliki akses ke sistem layanan dasar,” jelasnya.
Ayep, Kepala Desa Pelakar Jaya, mengungkapkan keterbatasan anggaran desa dalam mendukung Orang Rimba.
“Kami sudah melibatkan mereka dalam pembangunan desa, tetapi dukungan afirmasi akan sangat membantu agar program ini lebih optimal,” ungkapnya.
Rencana Kebijakan Afirmasi dan Dukungan Pemerintah Sekda Merangin, Ir. Fajarman, menegaskan bahwa kebijakan afirmasi adalah bentuk apresiasi kepada desa-desa yang telah mendukung pemberdayaan Orang Rimba.
“Kebijakan ini diharapkan mencakup akses pendidikan, kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka,” katanya.
Bito Wikantosa, Staf Ahli Menteri Desa-PDT, menyoroti pentingnya memperluas dampak praktik baik pemberdayaan yang dilakukan KKI WARSI dan pemerintah desa di Merangin.
Ia mengusulkan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah pusat dan provinsi untuk keberlanjutan program.
Hasil Lokakarya: Langkah Konkret Pemberdayaan Beberapa poin penting yang dihasilkan dari lokakarya ini meliputi:
1. Pembentukan tim perumus kebijakan afirmasi.
2. Penguatan koordinasi lintas sektor melalui pengaktifan kembali Pokja KAT di Kabupaten Merangin.
3. Alokasi dana afirmasi untuk mendukung program pemberdayaan, termasuk akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan peningkatan layanan kesehatan.
4. Kampanye publik untuk mengurangi stigma sosial terhadap Orang Rimba.
Menuju Pembangunan Daerah yang Inklusif
Melalui kebijakan afirmasi dan kolaborasi lintas sektor, Kabupaten Merangin menegaskan komitmennya untuk mendukung pembangunan inklusif yang memberikan akses setara kepada semua elemen masyarakat. Dukungan ini tidak hanya memperkuat hak-hak Orang Rimba.
Discussion about this post